Bulan
Januari 2014 lalu, Saya berkesempatan untuk jalan-jalan ke Kabupaten Garut, di
Jawa Barat
Kota
kabupaten yang lebih populer dengan sebutan “Kota Dodol” ini ternyata memiliki segudang potensi wisata
alam dengan panorama yang unik, mempesona dan layak untuk didatangi
Terdapat
enam tempat wisata alam pantai yang tersebar dibagian selatan kota Garut yang
berhadapan langsung dengan Samudera Indonesia seperti, Pantai Sayang Heulang,
Pantai Santolo, Pantai Gunung Geder, Pantai Leuweung Sancang, Pantai Ranca
Buaya, dan Pantai Karang Paranje
Untuk
yang tidak suka dengan suasana pantai dapat mendatangi kawasan perbukitan dan
pegunungan untuk mengisi liburan bersama keluarga, pilihan tempat yang dapat
dikunjungi adalah, Kawah Telaga Bodas, Kawah Darajat, Kawah Papandayan, Air
Panas Cipanas, Air Panas Pasir Wangi, Curug Sanghiyang Taraje, dan Air Terjun
Curug Orog
Karena
keterbatasan waktu dan kondisi cuaca yang sering hujan, tidak semua tempat
wisata yang ada di Garut dapat Saya kunjungi, Saya lebih memilih untuk
mengunjungi Candi Cangkuang, serta Kampung Adat Pulo yang lokasinya berada
disatu tempat yaitu di Pulau Panjang, sebuah pulau kecil yang terdapat ditengah
Danau (situ) Cangkuang
Candi
Cangkuang dan Rumah Adat Kampung Pulo, terletak disebelah utara kota Garut,
di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, 14 Km menjelang memasuki kota Garut dari
arah kota Bandung
Jika
Pengunjung ingin datang ke Desa Cangkuang sebaiknya menggunakan kendaraan sendiri karena
disini belum tersedia angkutan umum
Sarana
angkutan yang tersedia untuk menuju Desa Cangkuang hanya Delman dan Ojek, jarak
dari Jalan Raya Leles menuju ke Desa Cangkuang sekitar 5 Km, jika datang sendirian
lebih praktis naik ojek saja dengan biaya sekitar 15 sd 20K sekali jalan, jika
datang lebih dari satu orang sebaiknya naik delman, besaran biayanya bisa
dinego dengan pemilik jasa angkutan tersebut
Setelah
membayar tiket masuk 5K, Saya menuju ke Pangkalan Rakit Bambu dan bersiap bersama-sama
penumpang lain untuk menyeberangi danau, Ongkos jasa penyeberangan rakit 5K per
orang pulang pergi (dengan catatan menunggu rakit penuh dulu, baru berangkat)
Tersedia
juga rakit yang langsung berangkat, biayanya sekitar 30K PP, karena Saya tidak
buru-buru, Saya memilih rakit yang reguler saja, sementara menunggu rakit penuh
Saya manfaatkan waktu untuk menikmati indahnya panorama disekitar danau
Jarak
ke Pulau Panjang tidak terlalu jauh, hanya sekitar 200 Meter dan dapat ditempuh
dalam waktu 15 Menit dari pangkalan rakit bambu (tetapi sepertinya lebih lamaan
menunggu rakit penuh dari pada waktu yang diperlukan untuk menyeberang),
apaboleh bulatlah, memang sudah begitu aturannya
Pemandangan
yang terlihat ketika sedang berada di tengah danau sungguh mempesona, untuk pengunjung
yang suka berburu sunset atau sunrise disinilah tempatnya, karena danau yang mengelilingi
Pulau Panjang ini posisinya membujur dari barat ke timur, jika cuaca tidak
sedang mendung dan berkabut tentunya menjadi moment yang sangat menarik
Saya
tidak berminat untuk berburu sunset atau sunrise karena untuk itu harus menginap disini,
sementara tidak ada jaminan akan dapat melihat matahari secara utuh, karena cuaca
disini berkabut dan intensitas hujan masih tinggi
Air
danau tidak terlalu jernih (penduduk setempat menyebut danau ini dengan situ) warna air cenderung butek kecoklatan karena banyaknya
endapan lumpur yang terbawa air hujan kedalam danau
Lima
belas menit kemudian rakit bambu tanpa mesin yang hanya didorong dengan galah
bambu ini mulai merapat ke Pulau Panjang
Saya
menjejakkan kaki di pulau kecil seluas 16 Ha ini, suasana sejuk dan rindang sangat
terasa ketika Saya berjalan dibawah belasan pohon besar yang tumbuh disitu
sejak puluhan tahun lalu
Saya
menapaki jalan kecil menanjak dan melingkar untuk mencapai puncak bukit, tempat
dimana lokasi bangunan Candi Cangkuang berada
Seperti
halnya tempat wisata di daerah lain, disepanjang jalan menuju puncak bukit ini
dipenuhi oleh pedagang makanan dan penjual souvenir, tetapi pedagang disini
umumnya terlihat lebih sopan ketika menawarkan barang dagangannya
Suasana
yang sangat berbeda ketika Saya mengunjungi Candi Borobudur, pedagang asongan
di Borobudur lebih agresif dan terkesan memaksa pengunjung untuk membeli barang
yang ditawarkannya
(kayaknya
manajemen Candi Borobudur sekali waktu perlu turun kebawah dan menyamar jadi
pengunjung untuk melihat langsung tingkah pedagang asongan yang mengganggu
kenyamanan pengunjung ini)
Menjelang
naik keatas bukit, kita akan memasuki kawasan perkampungan adat, pengelola
tempat wisata telah mengatur rutenya sedemikian rupa, sehingga pengunjung Candi
Cangkuang akan melewati Kampung Pulo ini sebelum tiba di lokasi candi
Ada
enam buah Rumah Adat yang berukuran sedang dengan kostruksi rumah panggung,
tiga buah dikiri jalan dan tiga buah lagi dikanan jalan masuk, disebelah kiri
depan jalan masuk terlihat sebuah bangunan masjid
Lalu
keunikan apa yang dimiliki oleh Kampung Pulo ini yang membedakannya dengan
perkampungan disekitarnya?
Di
Kampung Pulo ini hanya boleh dibangun enam buah rumah saja, dan rumah adat ini hanya
boleh dihuni oleh keturunan Embah Dalem Arief Muhammad (leluhur Kampung Pulo)
Rumah
Adat didiami oleh enam Kepala Keluarga (Wanita) kepemilikan rumah disini dimiliki
oleh garis keturunan pihak perempuan
Dilingkungan
Rumah Adat ini tidak diperbolehkan memelihara ternak berkaki empat, dan
ditabukan untuk menabuh
(memukul) Gong
Jika
terjadi petambahan keluarga karena pernikahan, maka salah satu keluarga harus
keluar dari perkampungan ini untuk tetap mempertahankan jumlah KK yang ada
Sebaliknya
jika terjadi kematian, maka keluarga yang tinggal diluar boleh datang kembali untuk
menjadi penghuni kampung adat, setelah melalui musyawarah dan seleksi oleh
ketua adat
Secara
tersirat Saya belum dapat menangkap maksud dari aturan yang tidak tertulis ini,
satu Kearifan Lokal yang tidak Saya temukan ditempat lain, nalar Saya yang
belum tentu benar ini hanya menduga bahwa aturan ini dibuat untuk menyeimbangkan
jumlah penduduk dengan ketersediaan sumber daya alam yang ada ditempat tersebut
Lalu
siapakah sosok Embah Dalem Arief Muhammad?
Menurut
catatan yang ada, Beliau adalah salah seorang Senopati dari Kerajaan Mataram
yang ditugasi untuk memerangi VOC di Batavia, karena Beliau merasa gagal
menjalankan titah Raja, dan diduga ada perasaan takut dan malu untuk kembali ke Yogyakarta,
maka Beliau dan pengikutnya memilih untuk bermukim di Desa Cangkuang dan
kemudian mendirikan masjid dan menyebarkan Ajaran Islam disini
Kemudian
Saya melanjutkan perjalanan keatas bukit untuk melihat lebih dekat Candi
Cangkuang
Candi
Cangkuang berdiri di puncak bukit, bangunan candi berbentuk persegi empat
dengan lebar dan panjang masing-masing sekitar 5 Meter dengan ketinggian
sekitar 9 Meter
Candi
Cangkuang adalah Candi peninggalan Agama Hindu di Tanah Sunda yang dibangun
sekitar abad ke 8, tidak ditemukan rujukan siapa yang telah membangun candi
ini, namun diduga candi ini dibuat bersamaan waktunya dengan candi di Situs
Batujaya dan Candi Cibuaya
Bangunan
candi menghadap ke arah timur, yang ditandai dengan adanya tangga yang menuju ke
sebuah pintu masuk
Didinding
candi tidak terdapat hiasan relief atau bentuk pahatan seperti candi lain yang
pernah Saya lihat sebelumnya
Didalam
candi terdapat ruangan 2 Meter persegi dengan ketinggian ruangan sekitar 3,50
Meter, pada bagian tengah ruangan terdapat Patung Siwa setinggi 40 Cm yang
sedang duduk diatas lembu dengan sebelah kakinya terlipat
Sekilas
mengenai Candi Cangkuang
Seorang berkebangsaan Belanda bernama Vorderman pada Tahun 1893 menemukan
reruntuhan Arca Siwa dan sebuah makam kuno di Bukit Kampung Pulo, kemudian Vonderman
mencatatnya didalam Notulen Bataviach Gennot Schap
Pada
Tahun 1966, sebuah Team Peneliti yang dipimpin oleh Ahli Purbakala Drs Uka
Tjandra Sasmita dan Prof Harsoyo mendatangi kembali lokasi candi dan mulai
melakukan penggalian awal
Pada
Tahun 1967-1968 dilakukan penelitian lanjutan,
Team Peneliti hanya menemukan makam kuno
Disamping
makam kuno tersebut ditemukan sebuah pondasi bangunan berukuran 4,5 x 4,5 Meter
berikut sejumlah batuan lain yang berserakan disekeliling pondasi
Pada
Tahun 1974-1976 dilakukan penggalian lebih intensif, rekonstruksi dan pendataan
ulang, dilanjutkan dengan pemugaran dan
pemasangan kembali semua reruntuhan
Proses
rekonstruksi dari batu-batu yang masih tersisa dilanjutkan dengan menambahkan
sejumlah batu buatan, akhirnya pemugaran Candi Cangkuang dapat diselesaikan dan
diresmikan pada 8 Desember 1976
Selain
makam, disekitar bangunan candi terdapat sebuah museum kecil yang berisi
koleksi benda-benda peninggalan Mbah Dalem Arief Muhammad, berupa Naskah dari
abad ke 17 yang terbuat dari kulit kambing dan sebuah Al Quran yang terbuat
dari kulit kayu
Hari
telah menjelang siang ketika Saya beranjak meninggalkan Desa Cangkuang untuk
melanjutkan perjalanan ke kota Garut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar