Kamis, 17 Juli 2014

Jejak Cheng Ho di Kalimantan Timur



Untuk pembaca yang beragama Islam, Selamat Menjalankan Ibadah Puasa Ramadhan 1435 H

Semoga kepada kita semua, selalu diberikan kekuatan dan kemudahan dalam menunaikannya 

Bangunan Masjid Chengho ini tidak terlalu besar, Masjid dibangun dilahan yang cukup luas, terletak di Desa Batuah Kelurahan Loa Janan, Kabupaten Kutai Karta Negara, Kalimantan Timur, pada sisi sebelah kanan Jalan Raya Samarinda menuju ke Balikpapan


Walaupun masjid ini memiliki warna yang cerah, tetapi dari Jalan Raya Masjid Chengho ini hampir tidak terlihat keberadaannya, lebih-lebih jika kendaraan yang sedang digunakan dipacu dengan kecepatan diatas 40 Km per jam

Waktu itu kebetulan ban kendaraan yang Saya gunakan tiba-tiba saja bocor didekat lokasi masjid tersebut

Setelah selesai membuka dan memasang ban cadangan, sayup-sayup ditelinga Saya terdengar suara kumandang Adzan dari sebuah masjid, penanda bahwa sudah masuk waktu Sholat Dhuhur

Saya bergegas mendatangi masjid dan pergi ke Tempat Wudhu untuk sekedar membersihkan tangan dari pasir dan debu yang masih menempel, sekalian mengambil air wudhu dan ikut berjamaah dengan warga lainnya

Usai sholat, Saya tidak segera meninggalkan masjid karena ada sesuatu yang menarik perhatian Saya, yaitu paduan warna cat cerah yang digunakan untuk mewarnai masjid serta bentuk unik arsitektur yang dimiliki oleh masjid mungil ini

Maaf, Saya tidak menemukan rujukan tertulis mengenai kapan masjid ini mulai dibangun, oleh siapa, ukuran luas bangunan maupun luas lahannya, termasuk jumlah biaya pembangunan serta sumber pendanaannya

Menurut keterangan yang Saya dapat dari jamaah yang kebetulan ada disitu, Masjid ini dibangun oleh seseorang atau oleh organisasi sosial Warga Keturunan


Dari spanduk yang terpasang didepan masjid, Sepertinya ditempat ini sering dilaksanakan pengajian atau dakwah dengan mendatangkan Mubaligh atau Da’i dari luar daerah

Berikut ini beberapa photo yang sempat Saya ambil di masjid yang didominasi warna merah pada bagian-bagian utamanya

Photo-photo ini kayaknya lebih dapat mewakili Saya untuk berceritera lebih banyak ketimbang keterangan yang Saya tuliskan disini




Sedikit Tentang Laksamana Chengho
Nama Asli beliau adalah Cheng He atau Cheng Ho, sedangkan nama muslim Beliau adalah (Haji) Mahmud Shams, Lahir pada tahun 1371 dan meninggal pada tahun 1433


Beliau berasal dari Suku Hui yang beragama islam, Suku Hui ini secara fisik mirip dengan Suku Han, Beliau hidup pada masa kekaisaran Yong Lee, kaisar ketiga Dinasty Ming

Dalam perjalanannya menjelajahi laut disekitar perairan Laut Jawa, tiba-tiba salah seorang perwiranya yang bernama Wang Jing Hong Jatuh sakit dan memerlukan pertolongan lebih lanjut, kemudian Beliau memerintahkan kapal untuk berlabuh di Pantai Utara Semarang

Setelah mendarat dan tinggal sementara waktu di Semarang, Cheng Ho memerintahkan anak buahnya untuk membangun sebuah masjid, yang kemudian dalam perjalanan waktu masjid ini berubah fungsinya menjadi kelenteng, yang sekarang ini lebih dikenal dengan nama Kelenteng Sam Poo Kong


Pada versi yang lain diceritakan juga bahwa Cheng Ho memerintahkan untuk membangun dua macam rumah ibadah (sebuah Masjid dan satu Kelenteng) yang lokasinya tidak saling berjauhan (walahualam)


Senin, 10 Maret 2014

Borubudur, satu dari tujuh keajaiban dunia



Kawasan Candi Borubudur terlihat lebih rimbun dan lebih hijau dibanding ketika kunjungan Saya kesini pada beberapa tahun yang lalu

Candi Borubudur bisa di akses dengan kendaraan darat dari arah mana saja, tergantung dari mana kita datang, kontur jalan lumayan baik, datar, dan beraspal mulus

Candi Borubudur terletak di Desa Borubudur, Kecamatan Borubudur, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah, berjarak sekitar 40 Km di sebelah Barat Laut kota Yogyakarta


Setelah membayar tiket masuk sebesar 30K, Saya bersama dengan pengunjung lain mulai berjalan menuju ke Pintu Gerbang Utama

Menjelang memasuki pintu gerbang, Saya dipinjami oleh Pengelola Candi selembar sarung dengan motif batik yang harus dipakai pada saat Saya berada dilingkungan candi

Aturan semacam ini diberlakukan juga ketika Saya sedang berkunjung ke Candi Prambanan dan Candi Boko, bedanya hanya warna dan motif batiknya saja yang tidak sama

Pemakaian sarung batik ini cukup dililitkan atau di ikatkan diseputaran pinggang, dengan maksud untuk menghormati tempat ibadah saudara kita yang beragama hindu dan Budha  

Setelah melewati pintu gerbang utama, Saya mulai masuk ke kawasan Candi Borubudur, terlihat dihadapan Saya Bangunan besar dan kokoh

Sebuah bangunan situs bersejarah warisan masa lalu hasil karya pendahulu kita yang dapat dilihat dan dipelajari oleh generasi sekarang, bangunan ini juga merupakan salah satu dari tujuh keajaiban dunia yang ada saat ini

Candi Borubudur dibangun diatas sebuah bukit, dengan sisi panjang dan lebar bangunan yang nyaris sama 123 Meter, mempunyai ketinggian 34,5 Meter, dengan keliling lingkaran 492 Meter

Tidak kurang dari 55.000 Meter Kubik Batu Andesit yang dipergunakan untuk menyelesaikan bangunan yang fenomenal ini


Berapa lama rentang waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan bangunan ini tidak Saya temukan catatannya, sementara ada sumber lain yang menyatakan bahwa untuk membangun Candi Borubudur ini dibutuhkan waktu sekitar 75 sd 100 tahun

Dilokasi candi ini terdapat sekitar 504 buah Patung dan 72 buah Stupa Berlubang yang dibuat dengan mutu seni tinggi yang tersebar dan tertata dengan baik pada bangunan berundak bertingkat sepuluh ini


Menurut mata awam Saya, Patung dan stupa tersebut nampaknya nyaris sama bentuknya, yang membedakannya hanyalah dari ukuran besar atau kecilnya saja

Padahal jika dilihat dari Sikap Tangan (Mudra), masing-masing patung maupun stupa tersebut sejatinya memiliki perbedaan arti tersendiri

Terlepas dari bangunan candi ini masih berfungsi sebagai tempat ibadah atau tempat ziarah untuk agama tertentu, bibir Saya berdecak kagum dengan kepiawaian teknologi konstruksi yang dimiliki oleh nenek moyang kita tempo dulu

Saat itu hampir dipastikan belum ditemukan tehnologi yang seperti kita kenal sekarang ini, tetapi dengan segala keterbatasan dijamannya, mereka telah mampu membuat sebuah bangunan besar dan megah yang dipercaya sebagai Bangunan Candi atau Kuil Budha terbesar di dunia  



Sekilas mengenai Candi Borubudur
Secara pasti tidak ditemukan rujukan otentik, kapan dimulainya pembangunan Candi Borubudur

Pada masa tersebut di Jawa Tengah, Wangsa Syailendra yang menganut Agama Budha Mahayana sedang memegang tampuk pemerintahan

Temuan tulisan pada kaki candi yang tertutup tanah yang berbahasa Sansekerta dengan huruf Kawi, dan kemudian membandingkan tulisan-tulisan tersebut dengan temuan prasasti lain yang bertarikh pada beberapa tempat lain di Pulau Jawa

Maka Para Ahli berpendapat bahwa Candi Borubudur diperkirakan dibangun pada Tahun 800 Masehi

Pada Tahun 1814, Thomas Stamford Raffles, (Gubernur Jenderal pada waktu itu), menemukan reruntuhan Candi Borubudur yang telah lama terkubur didalam tanah

Pada Tahun 1834, Residen Kedu melakukan pembersihan disekitar candi, sehingga seluruh bentuk candi dapat dilihat secara utuh

Selama kurun waktu 1850 sd 1960 dilakukan lagi penggalian yang lebih intensif serta tindakan penyelamatan terhadap peninggalan masa lalu ini oleh pemerintah Indonesia, dan hasilnya seperti apa yang kita lihat pada saat sekarang ini


Hari telah menjelang siang ketika Saya meninggalkan area candi dan berbaur dengan pengunjung lain menuju pintu keluar

Disepanjang jalan menuju tempat parkir, perasaan Saya terusik oleh ulah beberapa oknum pedagang asongan yang menurut Saya sepertinya bertindak setengah memaksa pengunjung untuk membeli barang jualannya

Sebagai pelancong lokal seperti Saya, perilaku pedagang asongan ini tidak terlalu aneh, karena hal semacam ini sering Saya temukan juga di tempat wisata lainnya

Bagi Wisatawan Manca Negara tentu lain lagi kesan dan ceritera yang akan dibawa pulang kenegaranya

Untuk menciptakan kondisi yang lebih baik kedepannya, Sepertinya manajemen Candi Borubudur sekali waktu perlu menyamar sebagai pengunjung untuk melihat sendiri ulah para pedagang asongan yang terasa sangat mengganggu kenyamanan pengunjung

Rabu, 19 Februari 2014

Candi Cangkuang dan Kampung Pulo di Garut



Bulan Januari 2014 lalu, Saya berkesempatan untuk jalan-jalan ke Kabupaten Garut, di Jawa Barat

Kota kabupaten yang lebih populer dengan sebutan “Kota Dodol”  ini ternyata memiliki segudang potensi wisata alam dengan panorama yang unik, mempesona dan layak untuk didatangi

Terdapat enam tempat wisata alam pantai yang tersebar dibagian selatan kota Garut yang berhadapan langsung dengan Samudera Indonesia seperti, Pantai Sayang Heulang, Pantai Santolo, Pantai Gunung Geder, Pantai Leuweung Sancang, Pantai Ranca Buaya, dan Pantai Karang Paranje

Untuk yang tidak suka dengan suasana pantai dapat mendatangi kawasan perbukitan dan pegunungan untuk mengisi liburan bersama keluarga, pilihan tempat yang dapat dikunjungi adalah, Kawah Telaga Bodas, Kawah Darajat, Kawah Papandayan, Air Panas Cipanas, Air Panas Pasir Wangi, Curug Sanghiyang Taraje, dan Air Terjun Curug Orog

Karena keterbatasan waktu dan kondisi cuaca yang sering hujan, tidak semua tempat wisata yang ada di Garut dapat Saya kunjungi, Saya lebih memilih untuk mengunjungi Candi Cangkuang, serta Kampung Adat Pulo yang lokasinya berada disatu tempat yaitu di Pulau Panjang, sebuah pulau kecil yang terdapat ditengah Danau (situ) Cangkuang


Candi Cangkuang dan Rumah Adat Kampung Pulo, terletak disebelah utara kota Garut, di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, 14 Km menjelang memasuki kota Garut dari arah kota Bandung

Jika Pengunjung ingin datang ke Desa Cangkuang sebaiknya menggunakan kendaraan sendiri karena disini belum tersedia angkutan umum

Sarana angkutan yang tersedia untuk menuju Desa Cangkuang hanya Delman dan Ojek, jarak dari Jalan Raya Leles menuju ke Desa Cangkuang sekitar 5 Km, jika datang sendirian lebih praktis naik ojek saja dengan biaya sekitar 15 sd 20K sekali jalan, jika datang lebih dari satu orang sebaiknya naik delman, besaran biayanya bisa dinego dengan pemilik jasa angkutan tersebut

Setelah membayar tiket masuk 5K, Saya menuju ke Pangkalan Rakit Bambu dan bersiap bersama-sama penumpang lain untuk menyeberangi danau, Ongkos jasa penyeberangan rakit 5K per orang pulang pergi (dengan catatan menunggu rakit penuh dulu, baru berangkat)

Tersedia juga rakit yang langsung berangkat, biayanya sekitar 30K PP, karena Saya tidak buru-buru, Saya memilih rakit yang reguler saja, sementara menunggu rakit penuh Saya manfaatkan waktu untuk menikmati indahnya panorama disekitar danau


Jarak ke Pulau Panjang tidak terlalu jauh, hanya sekitar 200 Meter dan dapat ditempuh dalam waktu 15 Menit dari pangkalan rakit bambu (tetapi sepertinya lebih lamaan menunggu rakit penuh dari pada waktu yang diperlukan untuk menyeberang), apaboleh bulatlah, memang sudah begitu aturannya


Pemandangan yang terlihat ketika sedang berada di tengah danau sungguh mempesona, untuk pengunjung yang suka berburu sunset atau sunrise disinilah tempatnya, karena danau yang mengelilingi Pulau Panjang ini posisinya membujur dari barat ke timur, jika cuaca tidak sedang mendung dan berkabut tentunya menjadi moment yang sangat menarik

Saya tidak berminat untuk berburu sunset atau sunrise karena untuk itu harus menginap disini, sementara tidak ada jaminan akan dapat melihat matahari secara utuh, karena cuaca disini berkabut dan intensitas hujan masih tinggi      

Air danau tidak terlalu jernih (penduduk setempat menyebut danau ini dengan situ)  warna air cenderung butek kecoklatan karena banyaknya endapan lumpur yang terbawa air hujan kedalam danau

Lima belas menit kemudian rakit bambu tanpa mesin yang hanya didorong dengan galah bambu ini mulai merapat ke Pulau Panjang

Saya menjejakkan kaki di pulau kecil seluas 16 Ha ini, suasana sejuk dan rindang sangat terasa ketika Saya berjalan dibawah belasan pohon besar yang tumbuh disitu sejak puluhan tahun lalu

Saya menapaki jalan kecil menanjak dan melingkar untuk mencapai puncak bukit, tempat dimana lokasi bangunan Candi Cangkuang berada   

Seperti halnya tempat wisata di daerah lain, disepanjang jalan menuju puncak bukit ini dipenuhi oleh pedagang makanan dan penjual souvenir, tetapi pedagang disini umumnya terlihat lebih sopan ketika menawarkan barang dagangannya


Suasana yang sangat berbeda ketika Saya mengunjungi Candi Borobudur, pedagang asongan di Borobudur lebih agresif dan terkesan memaksa pengunjung untuk membeli barang yang ditawarkannya
(kayaknya manajemen Candi Borobudur sekali waktu perlu turun kebawah dan menyamar jadi pengunjung untuk melihat langsung tingkah pedagang asongan yang mengganggu kenyamanan pengunjung ini)

Menjelang naik keatas bukit, kita akan memasuki kawasan perkampungan adat, pengelola tempat wisata telah mengatur rutenya sedemikian rupa, sehingga pengunjung Candi Cangkuang akan melewati Kampung Pulo ini sebelum tiba di lokasi candi

Ada enam buah Rumah Adat yang berukuran sedang dengan kostruksi rumah panggung, tiga buah dikiri jalan dan tiga buah lagi dikanan jalan masuk, disebelah kiri depan jalan masuk terlihat sebuah bangunan masjid

 

Lalu keunikan apa yang dimiliki oleh Kampung Pulo ini yang membedakannya dengan perkampungan disekitarnya?

Di Kampung Pulo ini hanya boleh dibangun enam buah rumah saja, dan rumah adat ini hanya boleh dihuni oleh keturunan Embah Dalem Arief Muhammad (leluhur Kampung Pulo)

Rumah Adat didiami oleh enam Kepala Keluarga (Wanita) kepemilikan rumah disini dimiliki oleh garis keturunan pihak perempuan

Dilingkungan Rumah Adat ini tidak diperbolehkan memelihara ternak berkaki empat, dan ditabukan untuk menabuh (memukul) Gong

Jika terjadi petambahan keluarga karena pernikahan, maka salah satu keluarga harus keluar dari perkampungan ini untuk tetap mempertahankan jumlah KK yang ada

Sebaliknya jika terjadi kematian, maka keluarga yang tinggal diluar boleh datang kembali untuk menjadi penghuni kampung adat, setelah melalui musyawarah dan seleksi oleh ketua adat

Secara tersirat Saya belum dapat menangkap maksud dari aturan yang tidak tertulis ini, satu Kearifan Lokal yang tidak Saya temukan ditempat lain, nalar Saya yang belum tentu benar ini hanya menduga bahwa aturan ini dibuat untuk menyeimbangkan jumlah penduduk dengan ketersediaan sumber daya alam yang ada ditempat tersebut

Lalu siapakah sosok Embah Dalem Arief Muhammad?
Menurut catatan yang ada, Beliau adalah salah seorang Senopati dari Kerajaan Mataram yang ditugasi untuk memerangi VOC di Batavia, karena Beliau merasa gagal menjalankan titah Raja, dan diduga ada perasaan takut dan malu untuk kembali ke Yogyakarta, maka Beliau dan pengikutnya memilih untuk bermukim di Desa Cangkuang dan kemudian mendirikan masjid dan menyebarkan Ajaran Islam disini


Kemudian Saya melanjutkan perjalanan keatas bukit untuk melihat lebih dekat Candi Cangkuang

Candi Cangkuang berdiri di puncak bukit, bangunan candi berbentuk persegi empat dengan lebar dan panjang masing-masing sekitar 5 Meter dengan ketinggian sekitar 9 Meter

Candi Cangkuang adalah Candi peninggalan Agama Hindu di Tanah Sunda yang dibangun sekitar abad ke 8, tidak ditemukan rujukan siapa yang telah membangun candi ini, namun diduga candi ini dibuat bersamaan waktunya dengan candi di Situs Batujaya dan Candi Cibuaya



Bangunan candi menghadap ke arah timur, yang ditandai dengan adanya tangga yang menuju ke sebuah pintu masuk

Didinding candi tidak terdapat hiasan relief atau bentuk pahatan seperti candi lain yang pernah Saya lihat sebelumnya

Didalam candi terdapat ruangan 2 Meter persegi dengan ketinggian ruangan sekitar 3,50 Meter, pada bagian tengah ruangan terdapat Patung Siwa setinggi 40 Cm yang sedang duduk diatas lembu dengan sebelah kakinya terlipat

Sekilas mengenai Candi Cangkuang
Seorang berkebangsaan Belanda bernama Vorderman pada Tahun 1893 menemukan reruntuhan Arca Siwa dan sebuah makam kuno di Bukit Kampung Pulo, kemudian Vonderman mencatatnya didalam Notulen Bataviach Gennot Schap

Pada Tahun 1966, sebuah Team Peneliti yang dipimpin oleh Ahli Purbakala Drs Uka Tjandra Sasmita dan Prof Harsoyo mendatangi kembali lokasi candi dan mulai melakukan penggalian awal  

Pada Tahun 1967-1968 dilakukan penelitian lanjutan,  Team Peneliti hanya menemukan makam kuno

Disamping makam kuno tersebut ditemukan sebuah pondasi bangunan berukuran 4,5 x 4,5 Meter berikut sejumlah batuan lain yang berserakan disekeliling pondasi

Pada Tahun 1974-1976 dilakukan penggalian lebih intensif, rekonstruksi dan pendataan ulang, dilanjutkan dengan  pemugaran dan pemasangan kembali semua reruntuhan

Proses rekonstruksi dari batu-batu yang masih tersisa dilanjutkan dengan menambahkan sejumlah batu buatan, akhirnya pemugaran Candi Cangkuang dapat diselesaikan dan diresmikan pada 8 Desember 1976


Selain makam, disekitar bangunan candi terdapat sebuah museum kecil yang berisi koleksi benda-benda peninggalan Mbah Dalem Arief Muhammad, berupa Naskah dari abad ke 17 yang terbuat dari kulit kambing dan sebuah Al Quran yang terbuat dari kulit kayu

Hari telah menjelang siang ketika Saya beranjak meninggalkan Desa Cangkuang untuk melanjutkan perjalanan ke kota Garut